IMG_20190708_113451

 

Jual-Beli secara Kredit (Installment)

1. Hakekat Jual-Beli Kredit

Jual beli dengan kredit (cicilan) atau yang disebut dengan Taqsith adalah jual beli dengan harga ditunda yang diserahkan kepada penjual dengan angsuran yang disepakati, kemudian penjual akan menyerahkan barang yang dijual secara kontan, dan pembeli akan menyerahkan harga secara angsuran.

Kata al-Bay’ bi al-Taqsith mencangkup segala macam jual beli dengan karakteristik seperti ini, apakah harganya yang disepakati sama dengan harga pasar, atau lebih tinggi, atau lebih rendah, akan tetapi yang biasa dilakukan kebanyakkan adalah harga dalam jual beli dengan angsuran lebih tinggi dibandingkan harga barang pada pasar, meskipun seseorang membelinya secara kontan, dimungkinkan baginya untuk mendapati barang tersebut di pasaran dengan harga yang lebih rendah, akan tetapi dia membelinya dengan harga ditunda secara cicilan, maka sesungguhnya penjual tidak akan rela dengan hal itu melainkan harganya lebih tinggi dibandingkan harga barang secara kontan, biasanya tidak terjadi jual beli secara cicilan kecuali dengan harga yang lebih tinggi daripada harga pasaran.

2. Penambahan Harga Disebabkan Penangguhan Pembayaran

Dari sini muncul pertanyaan; Apakah boleh pembayaran yang ditunda lebih tinggi dari pembayaran secara kontan?

Para ahli Fiqih masa klasik dan kontemporer telah membicarakan permasalah ini, sebagian ulama berpendapat atas ketidakbolehan pembayaran seperti ini, karena penambahan merupakan bentuk pengganti (iwadh) atas batas waktu dan hal tersebut adalah Riba, atau di dalamnya terdapat keserupaan dengan Riba, madzhab ini diriwayatkan dari Zayn al-Abidin Ali bin al-Husayn, al-Nashir, al-Manshur billah, dan al-Hadawiyyah, hal tersebut sebagaimana yang dinukil oleh al-Syawkani rahimahullah dalam Nayl al-Awthar.

Adapun para imam yang empat, para ahli fiqih dan ahli hadith, telah memperbolehkan jual beli dengan pembayaran ditunda dengan harga lebih tinggi dibandingkan harga secara kontan, dengan syarat kedua orang yang berakad melangsungkan akad tersebut dengan model jual beli al-Muajjal (pembayaran tunda) dengan batas waktu yang ditentukan, dengan harga yang disepakati ketika akad berlangsung, maka apabila si penjual mengucapkan: “Aku menjual barang ini secara kontan dengan harga sekian, dan secara angsuran dengan harga sekian”, sedangkan ada dua akad berbeda dalam hal tersebut, serta tidak disepakati atas salah satu harga, maka jual beli jenis ini adalah tidak boleh, akan tetapi apabila kedua orang yang berakad menentukan salah satu bentuk pembayaran dalam majelis akad, maka jual beli tersebut boleh.

Berkata al-Imam al-Tirmidhi rahimahullah dalam kitabnya Jami’ al-Shahih tentang hadith Abu Hurayrah radhiyallahu anhu:
نهى رسول الله صلى الله عليه و سلم عن بيعتين في بَيْعَةٍ.
Artinya: “Rasulullah shalallahu alayhi wa sallam melarang dua bentuk jual beli dalam satu jual beli.”

Beliau mengomentar hadith ini: “Sebagian ahli ilmu menafsirkan: dua transaksi dalam satu transaksi adalah ucapan seseorang: “Aku jual kepadamu pakaian ini seharga sepuluh ribu dengan kontan, dan seharga dua puluh ribu dengan angsuran”, serta tidak memisahkan salah satu dari dua transaksi tersebut, apabila dia membedakan keduanya, maka tidak mengapa, apabila salah satu akad dari keduanya yang dilaksanakan.”

Walhasil, dari pendapat al-Imam al-Tirmidhi rahimahullah bahwa illah pelarangan jual beli tersebut pada dasarnya hanya disebabkan oleh kebimbangan atau keraguan atas ketidakjelasan harga berdasarkan dua kondisi tersebut, tanpa menentukan salah satu dari keduanya, dan hal tersebut berimplikasi munculnya kesamaran (jahalah) pada harga, dan larangan bukan pada penambahan harga disebabkan adanya waktu penyerahan, maka apabila telah hilang mafsadat dari jahalah dengan menentukan salah satu dari keduannya, maka jual beli demikian diperbolehkan menurut Syariat.

Apa yang disebutkan oleh al-Imam al-Tirmidhi rahimahullah itu merupakan madzhab mayoritas ulama dan empat madzhab, dan hal tersebut yang lebih kuat dari segi dalil, bahwa tidak ada dalam al-Qur’an dan al-Sunnah yang melarang jual beli seperti itu, dan definisi mengenai Riba tidak sesuai diterapkan pada tambahan harga tersebut, karena hal tersebut bukan merupakan pinjaman (qardh), bukan pula jual beli harta ribawi yang serupa dengannya, ini adalah jual beli murni, dan bagi penjual untuk menjual barangnya dengan harga sekehendaknya, tidak wajib baginya selalu untuk menjual barangnya dengan harga pasar, para pedagang memiliki pertimbangan bermacam-macam dalam menentukan dan menakar harga, maka berapa banyak macam harga atas suatu barang disebabkan adanya perbedaan kondisi, Syariat tidak melarang seseorang untuk menjual barang dagangannya dengan suatu harga pada suatu keadaan, dengan harga lainnya pada kondisi lainnya.

Selanjutnya, maka orang yang menjual barangnya dengan harga delapan secara tunai, dan sepuluh dengan secara angsuran, boleh baginya menjual barangnya seharga sepuluh meski secara tunai, selama di dalamnya tidak ada penipuan (ghisysy) dan kecurangan (khadda’), lalu mengapa tidak boleh seseorang menjualnya seharga sepuluh secara angsuran?

3. Memastikan Salah Satu Harga merupakan Syarat Kebolehan

Telah diterangkan sebelumnya, bahwa penjual menyebutkan beberapa harga ketika melakukan penawaran (musawamah), dengan berkata: “Aku jual barang ini seharga delapan rupee kontan, dan seharga sepuluh ribu rupiah dengan tangguh”. Apakah boleh baginya menyebutkan macam-macam harga berdasarkan perbedaan masa pembayaran? Seperti ungkapan: “Aku menjualnya dalam masa waktu satu bulan seharga sepuluh ribu, dan hingga dua bulan dengan harga dua belas ribu?”

Para ahli Fiqih tidak membicarakan hal ini secara jelas, dan berdasar analogi pendapat sebelumnya bahwa hal tersebut diperbolehkan, karena apabila diperbolehkan adanya perbedaan harga berdasarkan pembayaran secara kontan atau angsuran, boleh pula perbedaan berdasarkan masa waktu yang bermacam-macam, karena tidak ada perbedaan antara dua bentuk tersebut.

Namun, perbedaan harga ini hanya diperbolehkan disampaikan ketika melakukan penawaran, adapun akad jual beli tidak akan sah kecuali kedua belah pihak sepakat atas batas waktu, dan harga yang ditetapkan, maka sepatutnya ada kepastian atas salah satu transaksi yang disampaikan pada saat penawaran.

Sekiranya penjual berkata: “Apabila engkau menyerahkan harga setelah sebulan, maka harga barang sepuluh ribu, apabila setelah dua bulan, maka dua belas ribu, apabila tiga bulan, maka empat belas ribu,”, tanpa ditentukan salah satu harga, dengan alasan bahwa si pembeli akan memilih salah satu yang sesuai dengannya di masa depan, maka jual beli demikian adalah haram berdasarkan Ijma’, maka wajib bagi kedua belah pihak untuk melaksanakan akad baru dengan menentukan salah satu dari harga tersebut secara jelas.

4. Hanya Diperbolehkan Tambahan pada Harga bukan Bunga

Kebolehan tambahan adalah pada harganya, adapun yang dilakukan sebagian orang dengan menetapkan harga barang berdasarkan pembayaran kontan, dan menyebutkan kadar tambahan berdasarkan bahwa hal tersebut merupakan sebagian dari bunga atas keterlambatan dalam melunasi, maka hal tersebut jelas merupakan Riba, hal itu sebagaimana penjual katakan: “Aku jual barang ini seharga delapan puluh ribu Rupiah secara tunai, apabila engkau terlambat membayar sampai sebulan, maka engkau harus membayar lagi dua puluh ribu Rupiah sebagai tambahan dari delapan puluh ribu rupiah”, hukumnya sama saja apakah dikatakan bunga (interest) atau tidak, tidak diragukan lagi bahwa transaksi ini adalah transaksi ribawi, karena harga barang apabila ditetapkan seharga delapan puluh ribu rupiah, maka harga delapan puluh ribu rupiah ini mejadi hutang bagi pembeli, maka apapun yang dituntut penjual darinya berupa tambahan, maka hal tersebut adalah Riba.

Perbedaan praktis antara kedua bentuk tersebut adalah apa yang ditetapkan sebagai harga pada bentuk pertama, maka harga tersebut menjadi harga penjualan yang tetap setelah kedua belah pihak menetapkan salah satu bentuk transaksi, dan tidak akan bertambah harga tersebut setelah sempurna transaksi tersebut, dan tidak pula berkurang disebabkan berbagai keadaan pembeli dalam melunasinya, maka kalau sekiranya pembeli membeli suatu barang seharga sepuluh ribu rupiah, bahwa dia akan menyerahkan harga tersebut satu bulan ke depan, akan tetapi dia tidak dapat melaksanakannya sampai dua bulan, maka harganya tetap sepuluh ribu rupiah sebagaimana awalnya, harga tersebut tidak akan bertambah disebabkan tambahan waktu pelunasan.

Adapun bentuk kedua, maka harganya delapan ribu rupiah, dan bunga yang akan bertambah yang dituntut berdasarkan tambahan waktu pelunasan, maka bunga tersebut akan senantiasa bertambah semakin lamanya penundaan pembayaran, maka tambahan menjadi dua ribu rupiah pada bulan pertama, empat ribu rupiah pada bulan kedua, hingga seterusnya berlipat-lipat. Demikian, maka bentuk transaksi pertama termasuk jual beli yang dihalalkan, sedangkan bentuk kedua merupakan jenis transaksi yang masuk dalam perkara Riba yang diharamkan Syariat.

Diterjemahkan dari kitab Buhuts fi Qadhaya Fiqhiyyah Mu’ashirah karya Mufti Taqi Utsmani.

Penerjemah: Nur Shadiq Sandimula

Categories: SOP

0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder